Kamis, 13 Oktober 2011

Hitam & Putih (part 1)

Hai Hai apa kabar? Gue yakin loe, loe, dan loe masih sehat-sehat aja...
kali ini Gue mau post cerpen yang Gue bikin, untuk tugas Bahasa Indonesia. agak panjang sih, Jadi Gue split jadi 4 part aja.
Cerpen ini ceritanya tentang persahabatan... (umum banget kan?)
Selamat membaca...

Btw Gue berterimakasih atas editor merangkap teman,yang udah bantu-bantu Gue benerin tanda baca yang sangat-sangat cacad.


29-Agustus-2001
Keringatku bercucuran, panas di Kuwait memang sangat menyengat kulit. Aku terus berjalan menembus kerumunan orang yang penuh sesak. Rasanya lelah, tapi semua ini demi bertemu dengan sahabatku waktu bersekolah di Amerika dulu..
Saat itu aku tinggal dengan bibi dan paman di Massachusett untuk melanjutkan sekolah di Universitas Harvard. Aku benar-benar merasa sendirian, jauh dari hangatnya pelukan ibu. Tinggal di kota Massachusett itu sungguh menyiksa. Ketika pertama kali memasuki Universitas Harvard, aku merasa terasing, mungkin karena perbedaan fisik yang begitu menonjol. Sebenarnya aku tidak mepermasalahkan hal ini, karena aku juga tidak begitu suka bergaul. Motivasiku untuk kuliah di Harvard adalah supaya aku bisa meneruskan usaha ayahku, seorang pemilik hotel berbintang ternama di Kuwait.

            Masa kuliah kulewati sendirian, kecuali dengan seorang temanku, seorang Amerika. Namanya Gabriel. Saat itu aku berjalan pulang dari kampus ke rumah, melewati sekelompok pria Amerika bertampang sangar dan bertato seram. Aku merasa risih dengan cara meraka menatapku, kemudian mereka mengejekku. Aku menatap tajam ke arah seorang pria besar berkepala botak yang duduk di atas motor besarnya. Pria itu kemudian menghampiriku dan memukul perutku. Aku merasa sangat takut, tapi tak kupedulikan rasa sakit dan kupukul kepalanya sampai pria besar itu terjatuh. Melihat kejadian itu, temannya yang lain bangkit berdiri dan memukulku. Kurasakan pukulan itu tepat dikepalaku. Dunia terasa berputar. Aku tersungkur sementara mereka tertawa.
Ketika mereka mendekatiku, terdengar teriakan lantang
“Hei! Apa yang kalian lakukan!”
Aku mencoba mengangkat kepalaku dan mencari asal suara. Seorang pria Amerika dengan rambut dipotong pendek perlahan mendekatiku. Wajahnya terlihat samar meskipun aku berusaha memperhatikannya.
“Ini bukan urusanmu bung, pergilah!”seorang dari gerombolan pemukulku itu berteriak.
“Tentu saja ini urusanku, tindakan kalian merusak pemandangan!” pria itu menghardik.
Aku merasa, meskipun pria ini berbadan besar, tapi kalau melawan tujuh orang sekaligus, pastilah dia sudah bosan hidup.
“Apa?!” orang lain dari gerombolan tadi membalas dengan nada yang sangat marah.
 Kemudian, pria tadi berjalan kearah pria misterius itu disusul gerombolannya. Aku berusaha bangkit namun kepalaku terasa berat karena hantaman pria tadi. Aku merangkak, menyandarkan tubuhku ke sebatang pohon, menarik nafas dalam-dalam kemudian melihat apa yang terjadi.
            Gerombolan pria bertato itu mulai menghajar pria berbadan kekar tadi. Diluar dugaan, satu persatu dari gerombolan tersebut ditumbangkannya. Setelah selesai, ia menghampiriku.
“Kau tak apa-apa?” tanyanya.
“Ah iya, cuma kepalaku agak sedikit pusing.” aku berusaha bangkit berdiri.
“Kenapa kau berurusan dengan mereka?”
“Aku juga tidak begitu mengerti mungkin karena aku melotot kearah mereka.”
“Hahaha. Berani juga kau, baru pertama kali aku bertemu dengan orang nekat sepertimu. Kenalkan, aku Gabriel.”
“Aku Mikhail.”
Sejak saat itu kami sangat akrab, seperti kakak dan adik. Kami sering menghabiskan waktu bersama-sama. Sejak saat itu aku tidak sendiri lagi.
“Hei, Mikhail!” teriakan Gabriel membuyarkan lamunanku.
Ia berdiri tegap, di depan gerbang Hotel Abdul International.
“Gabriel! Apa kabar?” aku berlari ke arah Gabriel.
“Luar biasa, sobat.” Dia menjawab sambil tertawa.
Aku menghampirinya, kemudian ia merangkulku, dan kami berjalan menyusuri pasar di kota Kuwait.
“Kau ingat pertama kali kita bertemu, Mikhail?”
“Bagaimana aku bisa melupakan hal itu?”kataku.
“Hahaha... Aku masih membayangkan saat kau dihajar geng motor, wajahmu sangat menyedihkan. Hahahaha..” ia menatapku sambil tertawa.
“Kalau kau bicara lebih banyak lagi akan aku bungkam dengan ikan asin ini.” aku mengangkat ikan asin yang tertata rapi di pasar, kemudian mengarahkan ke hidungnya.
“Wueeek... Hei aku hanya bercanda. Dasar, dari dulu kau tidak berubah.”
“Aku kan juga bercanda.” aku tertawa puas melihat ekspresi Gabriel yang menggelikan.
            Kami berjalan menyusuri pasar tradisional di Kuwait sambil bercanda. Suasana pasar yang panas tidak kami hiraukan. Bagi orang orang timur tengah, bergaul dengan orang barat itu sama saja bergaul dengan musuh, tapi aku tidak peduli. Aku tidak tahu mengapa, tapi bagiku, suku, agama, dan ras bukan hal yang patut dijadikan alasan untuk membatasi persahabatan kami.
Gabriel mudah sekali tergoda dengan cinderamata, jika dalam pelajaran ekonomi, ia termasuk konsumen emosional yang sangat konsumtif.
Ketika sedang berkeliling pasar, tiba-tiba perut Gabriel mengeluarkan alarm tanda kehabisan bahan bakar.
“Kruuut” bunyi yang sangat aneh terdengar dari perutnya.
“Ah Mikhail, ayo kita makan sesuatu, hari sudah mulai gelap.”
“Baiklah, ayo kita ke restoran disana saja.” aku menujuk restoran kebab.
“Makan apa kita disana?”
“Ikan asin.” jawabku singkat
“Yang benar? Ah aku makan di hotel saja.”
“Hei aku hanya bercanda, kita akan makan kebab disana.”
“ Sialan kau, apa itu kebab?”
“Lihat saja nanti.”
Setelah makan, kami berbincang-bincang sebentar. Ia bercerita kalau ia sekarang pindah ke New York , ia bercerita kalau dia sekarang menjadi pasukan elit US. Dia tinggal tiga hari di Kuwait kemudian pulang ke New York.
            Hari ketiga, aku mengantar Gabriel ke bandara internasional di Baghdad. Sebelum pulang, Gabriel memberikan kalung berbentuk peluru terbuat dari besi stainless, dengan diameter alas sebesar 6 cm, berwarna kuning keemasan. Dalam perjalan pulang ke Kuwait aku terus memperhatikan kalung itu. Setelah kulihat ternyata ada tulisan "In the name of Justice". Aku tidak mengerti kenapa tulisan seperti itu ada di kalung berbentuk peluru, bagiku hal itu terlihat sangat aneh. Menurutku mungkin seharusnya diukir di buku atau pada simbol-simbol perdamaian.
Setelah kepulangan Gabriel, kami berhubungan lewat email, entah kenapa saat itu aku bertanya “Kau tinggal di New York di mananya?”, ia membalas “ Di sebuah apartemen dekat gedung World Trade Centre."

bersambung dulu yaa :D

FYI:
  1. Cerpen ini engga bermaksud memojokkan pihak tertentu. Kalo di kaskus emotnya yang NoSara
  2. ini cuma fiksi, inspirasinya dapet ketika Gue lagi melamunin tentang arti perdamaian pas lagi Boker di WC (ya iyalah masa di ruang tamu?) mungkin inspirasi ini dateng, karena mengingat tempat paling damai di kamar kos Gue itu cuma di WC, karena suasana kamar Gue kayak habis terjadi perang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar