Minggu, 16 Oktober 2011

Hitam & Putih (part 4)


akhirnya sampe di penghujung dari cerpen Gue..
mungkin ada kesalahan penulisan, (maklumlah nilai Bahasa Indonesia Gue ancur lebur)
Awal April 2003
Penyerangan di Bandara Internasional Saddam.
                Kami mendapat berita kalau Baghdad sedang diserang. Ditengah perjalanan, aku melihat pemandangan yang mengerikan. Kota-kota hancur, wajah anak-anak yang sedih, generasi muda yang seperti tidak punya harapan hidup lagi.
Sesampainya di Baghdad, kugenggam erat kalung pemberian Gabriel. Aku bertemu Komar, seorang komandan dari prajurit pembebasan. Ia tampak tenang, tidak terlihat ketakutan pada wajahnya.
“Kita bertarung supaya tercipta kedamaian bagi Irak, DEMI IRAK!!”
“Yeeah!” kami berteriak penuh semangat.
Seperti seorang motivator, ia membakar semangat juang kami.

                Esoknya harinya, pasukan Amerika datang ke Bandara Internasional Saddam. Tanpa basa-basi mereka menyerbu masuk kedalam bandara. Aku dan Sultan, seorang teman di pasukan pembebasan, menembaki prajurit-prajurit Amerika itu. Diluar perkiraan, jumlah mereka jauh lebih banyak dari kami. Kami terpojok dan berpencar, aku berlari ke arah gudang. Kupikir itu cara paling aman, ternyata beberapa prajurit Amerika mengejarku. Aku masuk ke dalam gudang yang sangat gelap dan bersembunyi dibalik kontainer. Prajurit Amerika yang mengejarku masuk dan kutembaki satu persatu dengan peluru 7,92x33mm.
                Hari sudah larut. Aku menukar senjataku dengan M4A1 dan mengambil beberapa magazine dari mayat-mayat prajurit Amerika.
“Mikhail, segera ke gedung utama. Kami terpojok.”suara Komar terdengar samar dari walkie talkie.
“Roger.” aku segera berlari ke gedung utama.
Koridor yang mengarah ke gedung utama ternyata dijaga oleh beberapa prajurit Amerika. Langsung saja kutembak kepala salah satu dari mereka. Tentara yang lain kemudian menembak ke arahku. Aku bersembunyi dibalik tembok dan menembaki mereka satu- per-satu, sehingga tingggal seorang tentara lagi. Ia berjalan mendekati tempat persembunyiannku, aku segera mengarahkan M4A1 itu ke kepalanya. Kutarik pelatuk, tapi ternyata peluruku habis.
“Mikhail... kaukah itu? Prajurit Amerika itu memegang kalung yang diberikan Gabriel. Ia membuka helmnya kemudian kulihat wajah yang sangat kukenal. Wajah Gabriel.
“Gabriel?” aku terkejut. Aku tidak menyangka bertemu dengannya dalam kondisi seperti ini.
“Kenapa kau jadi seperti ini?” suaranya bergetar.
“Aku hanya ingin kedamaian bagi negaraku. Amerika menginvasi kami hanya karena mengincar minyak bumi kami. Ini tidak adil!”
“Aku juga merasa begitu, tapi aku tidak dapat melakukan apa-apa, maaf.” Gabriel menunduk.
“Ini bukan salahmu. Terlalu banyak persepsi manusia dalam memandang kedamaian. Di dunia ini ada berjuta kedamaian yang ingin diwujudkan manusia, tapi setiap kedamaian yang terwujud hanya akan menghancurkan kedamaian yang lain.”
                Ketika kami berbincang bincang dalam keadaan yang sangat tidak aku inginkan, beberapa prajurit Amerika datang dari arah belakangku. Mereka berusaha menembakku.
“AWAS!” Gabriel melindungiku dengan tubuhnya. Ia tertembak. Prajurit Amerika yang menyadari telah menembak teman merka sendiri, terdiam. Dalam sekejap, Gabriel tumbang. Matanya memerah, air mata membasahi pipinya.
“Disini dingin sekali.” Gabriel menatapku, aku tak mampu berkata apapun ketika melihat sahabatku yang berlumuran darah.
“Aku tidak bisa merasakan jari-jariku.” Gabriel kembali berbicara.
“DIAM, JANGAN BANYAK BICARA!”aku berteriak dan kupeluk tubuhnya.
“Maafkan aku, sepertinya kita...” ia bahkan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
“GABRIEEEL!”aku berteriak dengan keras. Perasaanku kacau, marah dan sedih bercampur menjadi satu. Kuambil senapan Gabriel, kutembak prajurit-prajurit Amerika yang ada dibelakangku. Pandanganku kabur dibasahi air mata, namun tidak kupedulikan arah tembakanku, aku terus menembak. Kurasakan peluru yang panas sekujur tubuhku. Aku tak peduli, aku terus berdiri tegak. Berusaha mempertahankan kehormataku sebagai pejuang Irak, hingga aku tak mampu lagi berdiri. Aku terjatuh didekat Gabriel. Dengan sisa-sisa tenaga aku menggeser tubuku mendekat. Aku berusaha meraih tanganya, tapi sekujur tubuhku dingin, aku tidak bisa merasakan tanganku. Pandanganku mulai kabur. Kemudian dunia gelap.
                Setelah itu kulihat sinar yang sangat menyilaukan, namun terasa hangat. Aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Aku terbangun disebuah ruangan putih. Seseorang berpakaian putih menyambutku“Silahkan naik ke elevator ini.”
                Ketika keluar dari elevator itu kulihat taman yang sangat indah. Lantainya dari emas, pepohonan hijau dan lebat. Orang-orang dari berbagai ras berkumpul bersama. Sedang bermain atau mengobrol. Suasana ini sungguh berbeda dengan suasana di Irak.
“Hei Mikhail!” seseorang memanggilku. Ternyata Gabriel. Ia duduk dibawah pohon bersama kedua orangtuaku. Aku berlari menghampiri mereka. Hatiku bertanya:

“Apakah ini yang disebut sebagai kedamaian?”

Gabriel Geovrisco

A peace is of the nature of a conquest; for then both parties nobly are subdued, and neither party loser.
William Shakespeare

Palembang 15/08/2011
buat yang udah baca makasih banyak atas waktu yang diluangkan
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar